Untuk Rencana Pemindahan Ibukota Harus di Pagari Dengan PPHN Agar Terjamin
Jakarta - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan, menyambut positif soal rencana
Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang akan menyerahkan surat presiden
atau surpres terkait RUU Ibu Kota Negara( IKN) baru ke DPR RI. Meski demikian, menurut dia, rencana pembangunan IKN ke Kalimantan Timur
membutuhkan payung hukum yaitu salah satunya melalui Pokok-Pokok Haluan
Negara atau PPHN.
Hal ini disampaikannya pada discussion forum Stadium General Kongres II
Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA-KAMMI) di
Jakarta, Sabtu 28 Agustus 2021.
"Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh praktis
betapa untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan Ibu Kota
Negara baru itu, bangsa kita sangat membutuhkan payung hukum yang lebih
kokoh untuk hadirnya ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN,"
kata Basarah dalam keterangannya, Minggu (29/08/2021).
"Tanpa PPHN, siapa yang akan menjamin presiden terpilih tahun 2024
nanti benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan
ibu kota negara ini mengingat UUD NRI 1945 dan UU 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tidak memberi sanksi
apapun kepada presiden berikutnya atas tidak dilanjutkannya sebuah
program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh presiden sebelumnya?,"sambungnya.
Ketua Fraksi PDIP ini menuturkan, dukungan partai-partai dan seluruh
masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara itu idealnya
diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR RI melakukan
amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN.
Basarah memandang, amandemen terbatas ini, hanya ingin memasukkan satu
ayat pada pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR RI untuk
mengubah dan menetapkan PPHN atau GBHN, serta menambah ayat pada pasal
23 yang mengatur kewenangan DPR RI untuk menolak RUU APBN yang diajukan
oleh presiden bila bertentangan dengan PPHN.
"Karena itu, saya sangat berharap niat MPR RI melakukan amandemen
terbatas ini tidak dicurigai punya motif apa pun, apalagi dicurigai
ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode.
Tidak sama sekali. Presiden boleh berganti, tapi rencana pembangunan
jangka panjang nasional harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh
konstitusi,"kata dia.
Ketua DPP PDIP menegaskan jangkar pembangunan Indonesia modern-day sudah
seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang
menghendaki pembangunan nasional didasarkan atas pola Pembangunan
Nasional Semesta dan Berencana (PNSB) atau Garis-garis besar daripada
haluan negara.
"'Bung Karno di period Orde Dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan
GBHN. Kemudian pada era Orde Baru, Pak Harto melanjutkannya dengan
terminologi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tapi pasca
Reformasi, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan
menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional ini. Maka sekarang
saatnya kita kembali pada PPHN,"kata Dia.
Memastikan Presiden Punya Guidebook
Basarah menuturkan, jika Indonesia memiliki PPHN, seluruh rakyat
indonesia lewat wakil-wakil mereka akan leluasa memastikan presiden
terpilih untuk melaksanakan guidebook dan blue print pembagunan nasional
melalui PPHN.
Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang itu.
menegaskan, melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program
pembangunan lima tahunnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) 5 Tahun yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak
pembentukan visi, misi dan program calon presiden yang akan ikut
kontestasi pemilu presiden.
Dengan demikian, pembangunan nasional tak akan jalan di tempat akibat ganti presiden ganti program dan kebijakan. Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan
Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda, namun
proyek tersebut dibatalkan dan badan ini dibubarkan oleh Presiden
Jokowi.
Ada 17 lembaga lain yang dibubarkan berdasarkan perpres 82/2020
tentang komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Mengapa Presiden Jokowi bisa menghentikan apa yang sudah direncanakan
dan dilaksanakan presiden sebelumnya, itu karena UU SPPN tidak mengatur
hal itu apalagi memberi sanksi. Kita tak ingin presiden terpilih di
tahun 2024 melakukan tindakan yang sama, jika tak ada PPHN,"kata dia.
"Rakyat akan merugi karena triliunan anggaran untuk program pembangunan
Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur itu bisa saja mangkrak seperti rencana
pembangunan infrastruktur Selat Sunda maupun pembangunan Wisma Atlit di
Bogor.
Arah pembangunan nasional kita akan seperti tari Poco-poco, maju selangkah mundur dua langkah, dan seterusnya,"tutup Basarah.
Komentar
Posting Komentar